Di inti kisahnya berdiri Kaʻiana (Momoa), seorang kepala perang asal Kauaʻi yang pernah meninggalkan tanah airnya. Setelah bertahun-tahun di luar negeri, ia kembali ke pulau karena bayangan ancaman — bukan hanya dari kerajaan tetangga, tetapi juga dari kekuatan asing yang perlahan memasuki tanah leluhurnya. Kaʻiana menyadari bahwa rivalitas internal di antara kerajaan-kerajaan tradisional bisa menghancurkan warisan leluhur jika tak segera diatasi. Namun perang yang dibentangkan di hadapannya bukan hanya tentang pedang dan takhta. Ada nilai-nilai suci, tradisi spiritual, dan dilema moral yang lebih dalam: bagaimana mempertahankan kehormatan dengan cara sendiri, dan apa arti perlindungan ketika “musuh” datang dari luar dan dari dalam hati sendiri. Kaʻiana dipaksa memilih antara kekerasan yang membumi dan jalan diplomasi yang rapuh. Sutradara dan tim produksi tidak main-main soal otentisitas — detail alam Hawai, bahasa ʻŌlelo Hawaiʻi di beberapa adegan, dan nuansa ritual lokal terasa nyata dan diproduksi dengan penuh hormat. Adegan-adegan pertempuran pun tak hanya spektakuler secara visual, tetapi juga menggambarkan betapa brutal serta berdarahnya konflik berakar suku dan politik dalam masa itu.